Saturday, October 10, 2009

Teori Pembenaran

I. Pendahuluan

Sebagaimana ciri khas dari setiap tilikan filosofis yang selalu mencari pertanggungjawaban rasional atas setiap klaimnya, apa yang terpapar dalam tulisan ini juga merupakan uraian, meski hanya singkat, bagaimana sebuah klaim kebenaran pengetahuan itu dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di hadapan akal budi. Kami tidak menyinggung bagamaimana pengetahuan itu diperoleh, tetapi, sebagaimana telah dijelaskan, hanya memfokuskan diri pada teori-teori yang ada dalam epistemologi dalam memberikan pertanggungjawaban atas klaim suatu kebenaran.Dengan perkataan lain, bagaimana pembenaran pengetahuan itu dilakukan. Untuk lebih jelasnya, teori-teori pembenaran yang dimaksud itu adalah sebagai berikut.

II. Fondasionalisme

Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Jenis pengetahuan yang harus memiliki dasar sebagai pembenarannya ini dalam sejarah filsafat sudah dapat kita temui pada Plato dengan ideanya dan Aristoteles dengan materi dan bentuknya. Adapun fondasi yang dimaksud oleh para penganut teori pembenaran ini bisa berbentuk intuisi akal budi atau persepsi indrawi.

Para penganut teori ini mebedakan antara dua kepercayaan dalam pembenaran. Yaitu kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan. Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan. Sedangkan kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar. Sebagai contoh, dengan keyakinan bahwa bilangan “positif kali positif adalah positif” sebagai keyakinan dasar, maka semua bilangan yang mengikuti pola “positif kali positif” pada akhirnya harus sesuai dengan keyakinan dasar tersebut, yaitu berhasil akhir positif. Seperti 2x2=4, 2x3=6, dst.

Dengan demikian, pembenaran kebenaran berstruktur hierarkis, dimana kepercayaan dasar sudah benar pada dirinya sendiri, sedangkan kepercayaan simpulan hanya dapat dibenarkan berdasarkan kepercayaan dasar. Pembenaran kebenaran terjadi secara searah. Dengan kata lain, pembenaran kebenaran bersifat asimetris.

Namun, mengapa pembenaran sebuah keyakinan harus dikembalikan kepada sebuah kepercayaan dasar? Hal itu bagi kalangan fondasionalis adalah untuk (1) menghindarai argumen penarikan mundur yang terus-menerus (infinite regress argument). Memang ada sejumlah opsi bagi pendasaran kebenaran ini. Pertama, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dimana B sendiri tidak jelas kebenarannya. Kedua, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayaan C, dan begitu seterusnya sampai tak terhingga. Ketiga, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayan C, sedangkan C sendiri berdasar pada kepercayaan A. Keempat, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B yang sudah jelas dengan sendirinya dan tidak memerlukan pembenaran lagi. Bagi kalangan fondasionalis, tidak mungkin mendasarkan sebuah keyakinan pada suatu keyakinan lain yang keyakinan terakhir ini masih butuh pendasaran pada keyakinan lain lagi sampai tidak ada habisnya, sebagaimana dalam opsi kedua. Begitu juga dengan pilihan ketiga, yang terjadi hanyalah ligkaran setan yang tidak berpangkal dan tidak berujung. Adapaun yang pertama sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan karena ketidakjelasannya.

Dengan demikian, kalangan fondasionalis ingin (2) menghindari skeptisisme dalam pengetahuan. Dengan adanya kepercayaan dasar sebagi fondasi yang tidak lagi memerlukan pembenaran dari yang lain, sebagaimana dalam opsi keempat, kepastian dalam pengetahuan dapat tercapai.

Dalam perkembangannya, teori pembenaran ini dapat kita bagi menjadi dua bagian. Yaitu fondasionalisme versi ketat dan fondasionalisme versi longgar atau moderat. Yang pertama menuntut agar kepercayaan dasar yang menjadi fondasi pembenaran pengetahuan merupakan kepercayaan yang tak dapat keliru, tak dapat diragukan, dan tak dapat dikoreksi lagi. Versi ketat ini juga menuntut agar pembenaran yang merujuk pada kepercayaan dasar itu berdasarkan pada suatu implikasi logis atau induksi dari kepercayaan dasar tersebut. Beberapa tokoh dari fondasionalisme versi ketat ini adalah Descartes, Leibniz, dan Spinoza dari kalangan rasionalis; Locke, Berkeley, dan Hume dari kalangan empiris; serta Russell, Ayer, dan Carnap dari kalangan positivis logis.

Kalangan positivis logis misalnya, menyatakan bahwa hanya keyakinan yang berbentuk kalimat analitis dan pernyataan yang dapat diverifikasi yang menunjukkan kebenaran. Selain keduanya adalah pernyataan yang tidak rasional. Demikian juga dengan Descartes. Kepercayaan adanya orang lain dan keberadaan dunia luar adalah kepercayaan simpulan dari kepercayaan akan keberadaan dirinya yang meragukan segala sesuatu, sebagai gagasan yang begitu jelas dan terpilah-pilah dalam pikirannya.

Sedangkan fondasionalisme versi longgar/moderat menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat disebut kepercayaan dasar dan menjadi fondasi pembenaran pengetahuan kalau secara intrinsik probabilitas atau kementakan kebenarannya tinggi. Ia tidak menuntut agar kepercayaan dasar harus tak dapat keliru dan tak dapat diragukan. Aliran ini juga tidak menuntut adanya implikasi logis atau induksi penuh. Ia mencukupkan diri pada penjelasan terbaik yang dapat diberikan berdasarkan kepercayaan dasar. Hampir sebagian besar fondasionalis kontemporer mengikuti jenis fondasionalisme ini.

Tanggapan

Fondasionalisme adalah teori pembenaran paling terkenal dalam epistemologi. Hal itu tidak berlebihan karena teori ini memang cukup menarik lantaran penjangkaran empirisnya pada pengalaman, baik indrawi maupun introspektif, sebagai sumber informasi pengetahuan kita tentang dunia ini dan pembenarannya. Sebagaimana diketahui, indra adalah satu-satunya pintu gerbang bagi pemerolehan informasi dari luar diri kita. Di samping itu, intuitif terasa paling dekat dengan pengertian umum tentang pertanggungjawaban klaim kebenaran pengetahuan. Karena kalau biacara tentang pertanggungjawaban kebenaran pengetahuan, biasanya orang akan mencari alasan yang menjadi sumber dari pengetahuan tersebut. Dan dasar, sebagaimana lazim diketahui, memang tidak lagi bersumber pada dasar yang lain. Dengan demikian teori ini terlihat cocok.

Di samping menarik, teori pembenaran ini juga tidak bisa lepas dari kritik. Di antaranya adalah, pertama, fondasionalisme versi ketat dengan berbagai tuntutannya tersebut hampir mustahil untuk terpenuhi. Kalau tuntutan-tuntutan tersebut tetap dipaksakan, maka apa yang dapat diklaim sebagai pengetahuan yang benar menjadi hampir tidak ada. Dengan demikian, kepercayaan-kepercayaan lain yang didasarkan atasnya menjadi amat sedikit dan orang menjadi skeptis terhadap kenyataan dari luar, persepsi, kepercayaan berdasarkan ingatan, induksi, dll. Sedangkan fondasionalisme versi longgar/moderat ternyata kurang memberi pendasaran yang kuat bagi klaim kebenaran pengetahuan yang kita perlukan. Dengan demikian ia menjadi mirip dengan koherentisme moderat.

Kedua, pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan dalam kenyataan juga sulit. Karena apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar, kebenarannya tidak selalu sudah jelas dengan sendirinya bagi setiap orang. Ukuran sebuah kepercayaan untuk dapat dikatakan sebagai kepercayaan dasar tidaklah jelas. Di samping itu, fondasi bagi tiap fondasionalis juga tidak satu dan sama. Apa yang diklaim oleh seorang fondasionalis sebagai kepercayaan dasar yang benar dengan sendirinya dan tidak memerlukan pembenaran lagi, tidak selalu merupakan kepercayaan dasar pula bagi fondasionalis yang lain. Dan dalam kenyataan, apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar ternyata juga merupakan simpulan dari kepercayaan-kepercayaan yang lain.

Ketiga, argumen penarikan mundur terus menerus (infinite regress argument) bukanlah argumen yang konklusif, karena argumen tersebut hanya mengandaikan dua asumsi saja; yaitu berhenti pada suatu kepercayaan dasar atau tidak berakhir sama sekali. Dan fondasionalisme mengambil yang pertama. Padahal masih ada kemungkinan yang lain, yaitu alasan atau dasar yang saling mendukung antara kepercayaan yang satu dengan kepercayaan yang lain tanpa jatuh ke lingkaran setan, sebagaimana dalam koherentisme.

III. Koherentisme

Koherentisme berasal dari bahasa Latin yaitu cohaerere yang berarti melekat, tetep menyatu, dan bersatu. Menurut teori ini, ukuran kebenaran adalah hamorni internal proposisi-proposisi dalam suatu sistem tertentu. Suatu proposisi dikatakan benar kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi lain yang sudah diterima atau diketahui kebenarannya. Dengan kata lain, proposisi baru dikatakan benar kalau proposisi itu dapat dimasukkan ke dalam suatu sistem tanpa mengacaukan keharmonisan internal sistem tersebut. Menjadi benar berarti menjadi unsur dari suatu sistem yang tidak berkontradiksi. Koherentisme merupakan semua kepercayaan yang mempunyai kedudukan epistemik yang sama, sehingga tidak perlu ada pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan.

Kendati koherentisme tidak didasarkan atas suatu fondasi yang sudah jelas dengan sendirinya dan kebenarannya tak dapat diragukan lagi, suatu kepercayaan sudah bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya kalau kepercayaan itu koheren atau konsisten dengan keseluruhan sistem kepercayaan yang selama ini diterima kebenarannya.

Gambaran dasar bagi teori pembenaran koherentisme adalah sebuah sistem jaringan yang terbuat dan memperoleh kekuatannya dari berbagai kepercayaan yang saling mendukung. Sasaran pengujian atau pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenarannya bukan kepercayaan masing-masing secara individu, tetapi seluruh sistem jaringan kepercayaan.

Dengan demikian, pembenaran epistemik merupakan suatu pengertian holistik. Pengertian holistik dalam arti sebagai sesuatu yang saling berkaitan, atau suatu bentuk lingkaran yang berjalan terus-menerus. Teori pembenaran koherentisme erat terkait dengan teori kebenaran koheren atau padangan tentang kenyataan yang disebut idealisme.

Filsuf idealis abad ke-19 seperti Hegel dan Bradley adalah penganut teori pembenaran koherentisme. Mereka termasuk penganut koherentisme garis keras. Keduanya berpandangan bahwa suatu sistem jaringan kepercayaan disebut koheren kalau secara logis saling mengimplikasikan. Sedangkan filsuf Barat kontemper yang menganut koherentisme misalnya Wilfrid Sellar, W.V. Quine dan Laurence Bonjour. Mereka termasuk penganut koherentisme lunak. Mereka berpandangan bahwa suatu sistem jaringan kepercayaan disebut koheren apabila komponen kepercayaan yang membentuk sistem jaringan kepercayaan itu konsisten satu sama lain, namun tidak perlu harus sampai secara logis saling mengimplikasikan. Semakin banyak kepercayaan yang menjadi komponen sistem jaringan kepercayaan itu dapat saling mengandiakan, semakin tinggi tingkat koherensi sistem tersebut. Dan semakin banyak komponen kepercayaan yang tak bisa dijelaskan berdasarkan komponen lain dalam sistem, semakin rendah pula tingkat koherensi sistem tersebut.

Koherentisme Linear

Koherentisme dapat dibedakan menjadi dua, linear dan holistik. Yang pertama merupakan suatu kepercayaan yang membentuk lingkaran pembenaran yang penarikannya mundur terus-menerus. Misalnya kepercayaan A1 mendapat pembenaran dari A2, dan A2 dari A3… Dan An sendiri mendapat pembenaran dari A1. Maka koherentisme linear membentuk suatu lingkaran pembenaran yang tampaknya tidak bisa menghindari kesulitan penarikan mundur terus menerus, karena tidak dapat menjelaskan, bagaimana hanya dengan bergerak dalam lingkaran pengandaian dapat memberi pembenaran sama sekali. Kalau A1 tidak memiliki jaminan epistemik pada dirinya sendiri, bagaimana keseluruhannya dapat memperoleh pembenaran epistemik? Inilah yang juga merupakan kelemahan dari koherentisme linear.

Koherensisme Holistik

Dijelaskan bahwa suatu kepercayaan tidak memperoleh pembenaran epistemik melulu dari kepercayaan lain, tetapi dengan memainkan peran penting dalam keseluruhan sistem kepercayaan. Koherentisme holistik ini tidak sama dengan fondasionalisme yang selalu melihat perlunya pembenaran sesuai dengan kepercayaan dasar, sehingga bersifat asimetris. Oleh karena itu, para penganut koherentisme umumnya (misalnya: Hegel dan Bradley; Wilfrid Sellar, W.V. Quine dan Laurence Bonjour) menolak koherentisme linear dan memeluk koherentisme holistik. Nah, dalam koherensisme holistik, kepercayaan yang dipersoalkan dasar pertanggungjawabannya ditempatkan dalam keseluruhan sistem kepercayaan yang berlaku dan dilihat apakah koheren dengannya atau tidak.

Dalam pandangan koherentisme, kepercayaan yang memerlukan pembenaran berhubungan secara simetris dan timbal balik dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain dalam keseluruhan sistem. Kepercayaan A dapat saja mendukung B, dan kepercayaan B secara kompleks juga dapat mendukung A. Sebagai ilustrasi adalah apa yang terdapat dalam teka-teki silang.

Tanggapan

Setidaknya ada beberapa kritik klasik terhadap koherentisme. Pertama, argumen isolasi atau keberatan berdasarkan sistem tandingan. Artinya, teori koherentisme mengisolasi diri dari realitas yang sebenarnya. Suatu kepercayaan bisa koheren dengan kepercayaan yang lain tetapi belum tentu kompatibel dengan kenyataan yang sesungguhnya. Teori ini juga tidak memadai karena pada dirinya sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana membedakan antara 2 sistem atau kepercayaan yang secara internal saling koheren tetapi inkompatibel satu sama lain. Keberatan kedua adalah karena tidak adanya masukan dari dunia luar. Koherentisme sendiri terdiri dari serangkaian kepercayaan yang saling berhubungan dan mendukung. Akan tetapi tidak ada satu ukuran yang pasti untuk menilai sejauh mana kepercayaan itu merujuk ke kenyataan yang sebenarnya di dunia luar.

Keberatan yang ketiga berdasarkan argumen pemunduran yang tak terbatas. Koherentisme menolak kepercayaan dasar. Bagi kaum koherentisme holistik, keseluruhan sistem kepercayaan seseorang adalah sumber pembenaran empiris baginya. Karena kepercayaan inilah mereka akan jatuh pada kelemahan yang berupa terus menerus mundur tanpa batas. Dan argumen yang keempat mempertanyakan keniscayaan perlunya koherensi dan konsistensi sebagai dasar pembenaran. Hal itu karena dalam situasi tertentu suatu kepercayaan itu dpat dibenarkan tanpa harus koheren dengan kepercayaan yang sebelumnya kita anggap sudah benar. Sedangkan terhadap keniscayaan konsistensi, Richard Foley menentang dengan mengatakan bahwa paradoks lotry menunjukkan bahwa seseorang dapat saja tidak konsisten karena memiliki dua kepercayaan yang berbeda satu sama lain dalam satu hal yang sama.

Namun, kaum kohenrentisme menjawab balik kritik yang dilontarkan kepadanya. Terhadap keberatan pertama, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak mengisolasi diri dari dunia luar. Koherentisme tidaklah berbeda dengan fondasionalisme. Hanya saja bagi yang terakhir ini, kepercayaan yang berdasar pengamatan indrawi dipandang sebagai kepercayaan dasar, sedangkan bagi koherentisme masih harus disesuaikan atau dikoherensikan dengan kepercayaan yang lain. Dan terhadap kritik dari adanya sistem tandingan, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak berpendapat bahwa masing-masing sistem itu sebagai benar. Secara ideal hanya ada satu sistem yang benar, hanya saja kita tidak tahu mana dari sistem-sistem itu yang benar. Karena itulah butuh pemeriksaan a la koherentisme.

Terhadap kritik tentang tidak adanya masukan dari duania luar, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak menyangkal dunia fisik di luar subjek. Akan tetapi, sebagaimana diketahui, masukan dari dunia luar itu tetap masuk ke dalam diri subjek sesuai dengan cara pandang dan kerangka pikir yang telah ia punyai. Karena itu harus dibandingkan juga dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Dan terhadap kritik penarikan argumen mundur terus-menerus, mereka memang tidak menyangkalnya. Dan manusia sebagai makhluk terbatas memang membutuhkan pendasaran yang jelas baginya. Akan tetapi, pendasaran itu sendiri akhirnya juga ditentukan oleh koheren tidaknya ia dengan kepercayaan yang lain dan sistem yang ada. Untuk keberatan yang keempat, penganut teori ini memandangnya hanya sebagai pengecualian. Karena teori ini, bagi mereka, sampai sekarang tetap dapat menjamin kebenaran.

IV. Internalisme

Internalisme adalah pandangan bahwa orang selalu dapat menentukan dengan melakukan introspeksi diri apakah kepercayaan atau pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional atau tidak. Motivasinya adalah bahwa manusia sebagai makhluk rasional secara prima facie mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan secara rasional apa yang ia percayai atau apa yang menjadi pendapatnya.

Sebagaimana dua teori pembenaran sebelumnya, internalisme juga dibagi menjadi dua, garis keras dan garis lunak. Internalisme garis keras meyakini bahwa pikiran manusia yang terlatih dengan baik dapat memiliki akses kognitif introspektif yang tak dapat keliru, sebagaimana yang diyakini oleh Plato dan Descartes. Sedangkan internalisme garis lunak berpandangan bahwa kendati mungkin orang tidak secara introspektif mempunyai akses kognitif yang tak dapat keliru, suatu kepercayaan yang memiliki alasan yang masuk akal bagi orang yang memiliki kondisi psikologis yang sehat, maka kepercayaan itu sudah memiliki pembenaran atau pertanggungjawaban rasional.

Namun demikian, para internalis dewasa ini hanya menuntut untuk dapat memberi alasan terbaik yang bisa tersedia bagi kita, entah dari perspektif fondasionalisme ataupun koherentisme. Internalisme menuntut adanya tanggung jawab dari subjek penahu untuk sungguh-sungguh berupaya mencari kebenaran. Motivasinya untuk dapat memberi pertanggungjawaban rasional atas kepercayaan yang dipegang adalah agar kepercayaan atau pendapat itu memang secara benar dan tepat menggambarkan kenyataan dunia sebagaimana adanya. Pertanggungjawaban rasional merupakan sarana untuk menemukan kebenaran. Hal ini analog dengan prinsip prima facie dalam tanggung jawab moral. Dimana secara epistemik kita juga wajib memaksimalkan jumlah kepercayaan atau pendapat kita yang benar dan meminimalisasikan jumlah kepercayaan atau pendapat kita yg salah.

Tanggapan

Kritik tajam terhadap teori pembenaran ini datang karena pandangan internalisme yang meyakini bahwa kita memiliki aspek introspektif langsung terhadap apa yang menjamin kebenaran suatu kepercayaan. Pertanyaannya, sungguhkah kita memiliki aspek introspektif langsung semacam itu? Sungguhkah apa yang kita yakini sebagai benar, secara objektif juga benar? Ternyata dalam kenyataan tidak selalu seperti itu. Banyak sekali apa yang kita yakini sebagai benar, ternyata adalah tidak benar.

V. Eksternalisme

Karena paham internalisme tidak menjamin kesahihan suatu klaim kebenaran, maka dibutuhkan suatu teori baru, yaitu eksternalisme. Perbedaan dari keduanya adalah bahwa paham internalisme lebih menekankan pada syarat-syarat psikologi internal dalam subyek penahu sebagai syarat pembenaran pengetahuan. Sedangkan paham eksternalisme lebih menekankan proses penyebaban dari faktor eksternal seperti dapat diandalkan tidaknya proses pemerolehan pengetahuan itu, berfungsi tidaknya secara normal dan semestinya sarana-sarana wajar kita untuk mengetahui. Demikian juga lingkungan, sejarah, dan konteks sosial ikut menjadi bagian dari faktor penentu dibenarkan tidaknya suatu kepercayaan atau pendapat.

Salah satu bentuk dari paham eksternalisme adalah reliabilisme. Reliabilisme adalah pandangan bahwa suatu kepercayaan dapat dibenarkan kalau kepercayaan itu dihasilkan oleh suatu proses mengetahui yang dapat diandalkan. Misalnya saya mengatakan bahwa di depan saya terdapat sebuah pulpen berwarna biru. Pernyataan saya ini dapat dibenarkan kalau indra penglihatan saya dalam keadaan normal dan saya sendiri melihatnya.

Salah seorang epistemolog penganut paham eksternalisme adalah Alvin Goldman. Goldman membedakan adanya dua jenis proses kognitif; pertama, proses yang tergantung pada suatu kepercayaan. Misalnya; semua manusia dapat mati. Kedua, proses yang tak tergantung pada kepercayaan. Misalnya saya melihat hantu.

Suatu proses kognitif hanya dapat diandalkan kalau proses itu membawa ke kepercayaan yang benar. Karena keandalan atau reliabilitas proses kognitif sebagian ditentukan oleh lingkungan eksternal dimana kegiatan kognitif itu diandalkan, maka pembenaran epistemiknya dinamakan eksternalisme. Epistemolog lain yang menganut paham eksternalisme adalah Armstrong, Dretske, Sosa, dan Alvin Platinga. Dari kelima filsuf penganut eksternalisme ini, akan dipaparkan di sini pandangan Alvin Platinga tentang eksternalisme.

Tidak seperti yang lain, Platinga menolak paham reliabilisme karena paham ini dianggap belum mencukupi. Sebab bisa terjadi bahwa ada alternatif proses kognitif yang sama-sama wajar dan dapat diandalkan, tetapi membawa hasil pengetahuan yang berbeda. Misalnya dua orang diminta untuk meneliti suatu obyek yang sama. Setelah meneliti obyek yang sama itu dengan saksama, keduanya diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka masing-masing. Dan dalam presentasi itu ada kemungkinan bahwa laporan yang diberikan tidak sama. Dengan demikian terbukti bahwa proses kognitif yang wajar tidak menjamin bahwa pengetahuan yang dihasilkan selalu sapat dibenarkan. Apalagi sangat sulit untuk menentukan ukuran wajar dan tidaknya sebuah proses kognitif.

Sebagai pengganti reliabilisme, Platinga memfokuskan diri pada daya-daya kognitif yang berfungsi semestinya sesuai dengan desain atau rancang bangun daya kognitif tersebut dalam lingkungan yang sesuai. Dari pernyataan ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bagi Platinga suatu kepercayaan terjamin kebenarannya bila di dalam kepercayaan itu tercakup tiga unsur pokok sebagai dasar penilaiannya. Ketiga unsur pokok itu yang pertama adalah adanya rancang bangun dari daya kognitif; kedua, berfungsinya daya-daya kognitif tersebut secara semestinya; ketiga, desain itu seharusnya desain yang baik yang mengarah kepada kebenaran. Dan kalau kita lihat, konsep desain dalam pemikiran Platinga ini bisa juga berarti rencana ilahi dalam menciptakan organ-organ tubuh manusia.

Tanggapan

Pandangan Platinga mengatakan bahwa kita telah didesain sedemikian rupa oleh sang pencipta sehingga dalam keadaan yang sesuai daya-daya kognitif kita berfungsi dengan semestinya. Pertanyaanya, sungguhkah daya-daya kognitif berfungsi semestinya seperti yang dipikirkan oleh Platinga? Tidak mungkinkah bahwa suatu sistem yang telah didesain dengan baik tetap tidak berfungsi semestinya? Adanya desain belum menjamin bahwa akan selalu berfungsi dengan semestinya. Di samping itu, kalau kita memang didesain oleh Sang Maha Sempurna dengan baik, mengapa proses kognitif kita tidak berfungsi lebih baik?

Persoalan kedua adalah menyangkut hubungan antara desain dengan fungsi semestinya. Apakah rancang desain merupakan suatu syarat mutlak untuk adanya jaminan bahwa berfungsi semestinya? Platinga mendefinisikan fungsi semestinya sebagai erat terkait dengan rancang desain yang secara berhasil diarahkan kepada kebenaran. Padahal adanya rancang desain bukanlah syarat mutlak untuk berfungsi semestinya proses kognitif kita. Bisa saja terjadi bahwa proses kognitif befungsi dengan baik, padahal ia tidak didesain dari awal.

Persoalan ketiga yang lebih mendasar adalah penolakan Platinga atas internalisme. Platinga menolak internalisme karena paham deontologisme epistemologi yang ada di dalamnya, yang mewajibkan pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenaran pengetahuan kita. Padahal bagi kaum internalis, paham internalisme sendiri pertama-tama berarti suatu pembenaran subyektif. Artinya, subyek yang membuat klaim kebenaran sendiri sekurang-kurangnya dapat menjawab secara masuk akal bila ditanya tentang alsan mengapa ia percaya apa yang ia percayai. Karena dalam kenyataan kita mempunyai kewajiban prima facie untuk memeriksa bukti-bukti yang tersedia pada waktu yang tepat dan mempertanggungjawabkannya.

VI. Kesimpulan

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa masing-masing teori ternyata mengandung kelemahannya sendiri-sendiri, yang meskipun setiap teori berusaha memperbaiki teori yang muncul sebelumnya, kelemahan tetap masih ada atau bahkan muncul kelemahan yang baru. Hal ini membuat seorang epistemolog seperti Susan Haack berusaha untuk mengambil jalan tengah, dengan memadukan beberapa teori yang telah ada. Ia yakin bahwa teori pembenaran yang memadai haruslah berupa perpaduan antara fondasionalisme dan koherentisme. Sebagaimana telah diuraikan, fondasionalisme mengklaim adanya pengetahuan dasar yang benar dengan sendirinya. Bagi Haack, pengetahuan semacam itu hanyalah mitos belaka. Karena itu koherentisme menjadi diperlukan dan tak dapat diabaikan Namun hanya dengan menggunakan koherentisme murni juga tidak memadai, karena mengabaikan perlunya basis empiris pengalaman sebagai basis kenyataan.

Apalagi fondasionalisme versi ketat, yang menuntut kepercayaan dasar sebagai benar dengan sendirinya dan tidak dapat salah sama sekali, terasa mustahil untuk diupayakan. Demikian juga koherentisme versi ketat yang menuntut adanya koherensi dan implikasi logis dari setiap kepercayaan juga sulit terpenuhi.

Teori perpaduan yang dikemukakan Hacck ini ia namakan dengan foundherentisme. Ia menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional kalau ia memiliki evidensi yang mengindikasikan kebenarannya. Unsur fondasionalisme yang mau ia pertahankan adalah perlunya pendasaran objektif yang baru memadai kalau sunguh mengindikasikan kebenaran. Sedangkan unsur fondasionalisme yang mau ia tolak adalah adanya kepercayaan dasar yang kebenarannya tidak dapat dikoreksi lagi karena sudah benar dengan sendirinya. Adapun aspek koherentisme yang mau ia pertahankan adalah adanya dukungan koherensi antara kepercayaan yang mau dibenarkan dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Bisa dikatakan, teori Hacck adalah gabungan antara fondasionalisme moderat dengan koherentisme.

Dengan demikian, teori pembenaran yang memadai juga merupakan gabungan antara internalisme dan eksternalisme. Dengan internalisme, subjek tetap memliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan klaim kebenarannya. Subjek harus tahu apa yang ia ketahui dengan mampu memberi alasan rasional atas klaim kebenarannya. Dan hal itu disempurnakan dengan eksternalisme yang menekankan pentingnya mekanisme proses kognitif yang dapat diandalkan.

Namun demikian, usulan Hacck dengan foundherentismenya juga tidak menyelesaikan masalah. Teori perpaduan yang ia usulkan justru menjadi semakin tidak jelas. Bagaimana bisa terwujud suatu pembenaran yang menuntut suatu kepercayaan di satu pihak harus memiliki dasar, tetapi di pihak lain harus juga koheren dengan yang lain? Karena kalau sudah memiliki dasar yang kokoh, maka ia tidak lagi memerlukan koherensi dengan yang lain. Demikian karena, kalau ia masih memerlukan koherensi dengan yang lain, maka otomatis status dasar yang kokoh menjadi hilang, lantaran ia meskipun diklaim sebagai fondasi tetap relatif dengan yang lain. Dan contoh teka-teki silang yang ia ajukan juga tidak pas dengan teori foundherentismenya itu. Karena masing-masing lajur dalam teka-teki silang tidak memiliki dasar sendiri, namun ia hanya benar karena koherensinya dengan yang lain. Artinya, tidak ada unsur fondasionalismenya di situ.

Di samping itu, dengan foundherentisme, pengetahuan yang benar justru menjadi semakin sedikit, karena syarat untuk mencapainya semakin dipersempit lagi lantaran harus sesuai dengan syarat-sayarat dari dua teori yang dipadukan, tidak hanya salah satu teori saja. Padahal itulah yang mau ia kritik dari masing-masing teori. Dengan demikian, ia jatuh pada yang apa yang ia sendiri mau mengkritiknya.

VII. Pustaka

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004.
K. Moser, K (ed), The Oxford Handbook of Epistemology,…………………………………
Magnis-Suseno, Franz, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Sudarminta, J, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002.



No comments: